Kamis, 06 Juni 2013

Aborsi

Di era modern seperti saat ini telah banyak terjadi pergeseran-pergeseran nilai sebagai akibat dari adanya peleburan budaya. Fenomena free sex, narkoba, tawuran dan sebagainya  yang dulu dianggap sebagai suatu hal yang tabu kini telah menjadi hal yang lumrah dan sangat mudah kita temukan pada hampir setiap sudut di pelosok negeri ini.
   Hal ini sangat rentan terjadi pada remaja yang tengah mencari jati diri. Akibat terperangkap dalam lingkaran setan narkoba atau pergaulan bebas, remaja saat ini sungguh memiliki kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Keterpurukan moral dan lemahnya pengawasan menjadikan keadaan remaja semakin buruk. Hal ini dapat terlihat dari semakin meningkatnya jumlah kasus aborsi, kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), infeksi menular seksual (IMS), HIV/AIDS dan lain-lain.
Menurut survei yang dilakukan oleh Komnas Perlindungan anak di 33 provinsi, dari Januari sampai Juni tahun 2008 lalu, menemukan remaja kita sudah melakukan perbuatan yang melanggar norma kehidupan," kata Wali Kota Cilegon, Tb Iman Ariyadi saat memberikan sambutan dalam acara ajang kreatifitas PIK-Remaja di gedung negara rumah dinas wali kota, Sabtu.
Setiap tahun terdapat sekitar 2,6 juta kasus aborsi di Indonesia, yang berarti setiap jam terjadi 300 tindakan pengguguran janin dengan resiko kematian ibu. “Sedikitnya 700 ribu diantaranya dilakukan oleh remaja atau perempuan berusia di bawah 20 tahun,” kata Deputi Bidang Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Siswanto Agus Wilopo.
Staf Asisten Deputi Urusan Masalah Sosial Perempuan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, Atwirlany Ritonga, menulis di jurnal medis The Lancet edisi Oktober 2006 bahwa setiap tahun terdapat 19 juta-20 juta aborsi di dunia. Aborsi itu dilakukan secara tidak aman dan 97 persen terjadi di negara-negara berkembang.
Angka-angka yang disebutkan diatas sungguh sangat mencengangkan, tingkat aborsi di Indonesia ternyata menempati urutan tertinggi se-Asia Tenggara. Dari keseluruhan kasus aborsi yang terjadi, sekitar 30% pelakunya adalah remaja putri alias wanita usia belia (15-20 tahun) yang belum menikah, bahkan diantara mereka banyak yang masih berstatus sebagai pelajar di SMP dan SMA. Tercatat pula bahwa tingkat kematian tertinggi wanita pada umumnya adalah karena aborsi.
Menurut Fact About Abortion, Info Kit on Women’s Health oleh Institute for Social, Studies and Action, Maret 1991, dalam istilah kesehatan aborsi didefinisikan sebagai penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi dalam rahium (uterus), sebelum usia janin (fetus) mencapai 20 minggu. Sedangkan menurut  WHO (2000) aborsi adalah penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan atau kurang dari 22 minggu.
Di dunia setiap tahunnya diperkirakan 600.000 perempuan meninggal dunia karena sebab-sebab yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan.  Sekitar 13% (78.000) dari kematian ibu karena tindakan aborsi yang tidak aman (The Alan Guttmacher Institute 1999).  Aborsi tidak aman merupakan urutan ketiga penyebab kematian ibu di dunia (WHO 2000).
Berdasarkan penelitian WHO diperkirakan 20-60 persen aborsi di Indonesia adalah aborsi disengaja (induced abortion). Penelitian di 10 kota besar dan enam kabupaten di Indonesia memperkirakan sekitar 2 juta kasus aborsi, 50 persennya terjadi di perkotaan. Kasus aborsi di perkotaan dilakukan secara diam-diam oleh tanaga kesehatan (70%), sedangkan di pedesaan dilakukan oleh dukun (84%). Klien aborsi terbanyak berada pada kisaran usia 20-29 tahun.
Perkiraan jumlah aborsi di Indonesia setiap tahunnya cukup beragam.  Hull, Sarwono dan Widyantoro (1993) memperkirakan antara 750.000 hingga 1.000.000 atau 18 aborsi per 100 kehamilan.  Saifuddin (1979 di dalam Pradono dkk 2001) memperkirakan sekitar 2,3 juta.  Sedangkan sebuah studi terbaru yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia memperkirakan angka kejadian aborsi di Indonesia per tahunnya sebesar 2 juta (Utomo dkk 2001).  Berdasarkan data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) pada tahun 2011 ada sekitar 2 juta tindak aborsi yang dilakukan pada tahun 2008. Dari jumlah tersebut, sekitar 62 persen lebih dilakukan oleh remaja.
Analisis lebih jauh data SKRT 1995 menyebutkan aborsi berkontribusi terhadap 11,1% dari kematian ibu di Indonesia, atau satu dari sembilan kematian ibu.  Angka sebenarnya mungkin jauh lebih besar lagi, seperti dikemukakan oleh Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI yang secara informal memperkirakan kontribusi aborsi terhadap kematian ibu di Indonesia sebesar 50%.
Adapun upaya-upaya yang dapat kita lakukan untuk menurunkan risiko kematian karena aborsi tidak aman adalah antara lain dengan menurunkan ‘demand’ perempuan terhadap aborsi tidak aman.  Ini dapat dimungkinkan bila pemerintah mampu menyediakan fasilitas keluarga berencana yang berkualitas dilengkapi dengan konseling.  Konseling keluarga berencana dimaksudkan untuk membimbing klien melalui komunikasi dan pemberian informasi yang obyektif untuk membuat keputusan tentang penggunaan salah satu metode kontrasepsi yang memadukan aspek kesehatan dan keinginan klien, tanpa menghakimi.  Bagi remaja yang belum menikah, perlu dibekali dengan pendidikan seks sedini mungkin sejak mereka mulai bertanya mengenai seks.  Namun, perlu disadari bahwa risiko terjadinya kehamilan selalu ada, sekalipun pasangan menggunakan kontrasepsi.  Bila akses terhadap pelayanan aborsi yang aman tetap tidak tersedia, maka akan selalu ada ‘demand’ perempuan terhadap aborsi tidak aman.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger