Di era modern seperti saat ini telah
banyak terjadi pergeseran-pergeseran nilai sebagai akibat dari adanya peleburan
budaya. Fenomena free sex, narkoba,
tawuran dan sebagainya yang dulu
dianggap sebagai suatu hal yang tabu kini telah menjadi hal yang lumrah dan
sangat mudah kita temukan pada hampir setiap sudut di pelosok negeri ini.
Hal
ini sangat rentan terjadi pada remaja yang tengah mencari jati diri. Akibat
terperangkap dalam lingkaran setan narkoba atau pergaulan bebas, remaja saat
ini sungguh memiliki kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Keterpurukan moral
dan lemahnya pengawasan menjadikan keadaan remaja semakin buruk. Hal ini dapat terlihat
dari semakin meningkatnya jumlah kasus aborsi, kehamilan yang tidak diinginkan
(KTD), infeksi menular seksual (IMS), HIV/AIDS dan lain-lain.
Menurut survei yang dilakukan oleh Komnas Perlindungan
anak di 33 provinsi, dari Januari sampai Juni tahun 2008 lalu, menemukan remaja
kita sudah melakukan perbuatan yang melanggar norma kehidupan," kata Wali
Kota Cilegon, Tb Iman Ariyadi saat memberikan sambutan dalam acara ajang
kreatifitas PIK-Remaja di gedung negara rumah dinas wali kota, Sabtu.
Setiap tahun terdapat sekitar 2,6 juta kasus aborsi di
Indonesia, yang berarti setiap jam terjadi 300 tindakan pengguguran janin
dengan resiko kematian ibu. “Sedikitnya 700 ribu diantaranya dilakukan oleh
remaja atau perempuan berusia di bawah 20 tahun,” kata Deputi Bidang Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) Siswanto Agus Wilopo.
Staf Asisten Deputi Urusan Masalah Sosial Perempuan
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, Atwirlany Ritonga, menulis di jurnal
medis The Lancet edisi Oktober 2006 bahwa setiap tahun terdapat 19
juta-20 juta aborsi di dunia. Aborsi itu dilakukan secara tidak aman dan 97
persen terjadi di negara-negara berkembang.
Angka-angka yang disebutkan diatas sungguh sangat
mencengangkan, tingkat aborsi di Indonesia ternyata menempati urutan tertinggi se-Asia
Tenggara. Dari keseluruhan kasus aborsi yang terjadi, sekitar 30% pelakunya
adalah remaja putri alias wanita usia belia (15-20 tahun) yang belum menikah,
bahkan diantara mereka banyak yang masih berstatus sebagai pelajar di SMP dan
SMA. Tercatat pula bahwa tingkat kematian tertinggi wanita pada umumnya adalah
karena aborsi.
Menurut Fact About Abortion, Info Kit on Women’s Health oleh Institute for
Social, Studies and Action, Maret 1991, dalam istilah kesehatan aborsi
didefinisikan sebagai penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum)
yang telah dibuahi dalam rahium (uterus), sebelum usia janin (fetus) mencapai
20 minggu. Sedangkan menurut WHO (2000) aborsi adalah penghentian
kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan atau kurang dari 22
minggu.
Di dunia setiap tahunnya diperkirakan 600.000
perempuan meninggal dunia karena sebab-sebab yang berhubungan dengan kehamilan
dan persalinan. Sekitar 13% (78.000)
dari kematian ibu karena tindakan aborsi yang tidak aman (The Alan Guttmacher
Institute 1999). Aborsi tidak aman
merupakan urutan ketiga penyebab kematian ibu di dunia (WHO 2000).
Berdasarkan penelitian WHO diperkirakan 20-60 persen aborsi
di Indonesia adalah aborsi disengaja (induced abortion). Penelitian di 10 kota
besar dan enam kabupaten di Indonesia memperkirakan sekitar 2 juta kasus
aborsi, 50 persennya terjadi di perkotaan. Kasus aborsi di perkotaan dilakukan
secara diam-diam oleh tanaga kesehatan (70%), sedangkan di pedesaan dilakukan
oleh dukun (84%). Klien aborsi terbanyak berada pada kisaran usia 20-29 tahun.
Perkiraan jumlah aborsi di Indonesia setiap tahunnya
cukup beragam. Hull, Sarwono dan
Widyantoro (1993) memperkirakan antara 750.000 hingga 1.000.000 atau 18 aborsi
per 100 kehamilan. Saifuddin (1979 di
dalam Pradono dkk 2001) memperkirakan sekitar 2,3 juta. Sedangkan sebuah studi terbaru yang
diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia
memperkirakan angka kejadian aborsi di Indonesia per tahunnya sebesar 2 juta
(Utomo dkk 2001). Berdasarkan
data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) pada tahun 2011 ada
sekitar 2 juta tindak aborsi yang dilakukan pada tahun 2008. Dari jumlah
tersebut, sekitar 62 persen lebih dilakukan oleh remaja.
Analisis lebih jauh data SKRT 1995 menyebutkan aborsi berkontribusi
terhadap 11,1% dari kematian ibu di Indonesia, atau satu dari sembilan kematian
ibu. Angka sebenarnya mungkin jauh lebih
besar lagi, seperti dikemukakan oleh Direktorat Jendral Bina Kesehatan
Masyarakat Departemen Kesehatan RI yang secara informal memperkirakan
kontribusi aborsi terhadap kematian ibu di Indonesia sebesar 50%.
Adapun upaya-upaya yang dapat kita
lakukan untuk menurunkan
risiko kematian karena aborsi tidak aman adalah
antara lain dengan
menurunkan ‘demand’ perempuan terhadap aborsi tidak aman. Ini dapat dimungkinkan bila pemerintah mampu
menyediakan fasilitas keluarga berencana yang berkualitas dilengkapi dengan
konseling. Konseling keluarga berencana
dimaksudkan untuk membimbing klien melalui komunikasi dan pemberian informasi
yang obyektif untuk membuat keputusan tentang penggunaan salah satu metode
kontrasepsi yang memadukan aspek kesehatan dan keinginan klien, tanpa
menghakimi. Bagi remaja yang belum
menikah, perlu dibekali dengan pendidikan seks sedini mungkin sejak mereka
mulai bertanya mengenai seks. Namun,
perlu disadari bahwa risiko terjadinya kehamilan selalu ada, sekalipun pasangan
menggunakan kontrasepsi. Bila akses terhadap
pelayanan aborsi yang aman tetap tidak tersedia, maka akan selalu ada ‘demand’
perempuan terhadap aborsi tidak aman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar