Remaja merupakan
kelompok usia masa yang kritis, karena pada usia tersebut secara biologis
berada pada kondisi seksual produktif aktif, sementara belum memungkinkan
remaja untuk menikah, selain masih dalam tahap pendidikan juga belum siapnya
dari segi psikologis maupun ekonomis. Agar remaja tidak jatuh dalam perilaku
seksual bebas maka perlu mendapat perhatian serius salah satu diantaranya
adalah pendidikan seksual remaja dan kesehatan reproduksi. Selama ini problem
remaja banyak terlupakan karena usaha penanggulangan dan pencegahan PMS akibat
dari seksual bebas lebih banyak ditujukan kepada kelompok resiko tinggi
lainnya, seperti pada pekerja seks dan kaum homo seksual. Oleh karena itu
kelompok remaja perlu mendapatkan informasi atau pengetahuan kesehatan
khususnya mengenai reproduksi dan permasalahannya, sehingga perilaku seksual
bebas dapat terkendali dan kelompok remaja menjadi generasi mudaa bangsa yang
sehat dan berkualitas.
Minimnya informasi kesehatan reproduksi
remaja kerap menjadi salah satu persoalan yang membuat mereka salah dalam
mengambil keputusan. Informasi
kesehatan reproduksi (kespro) pada remaja harus ditingkatkan, agar kelompok
kaum muda yang sedang tumbuh berkembang ini dapat memperoleh sumber informasi
yang benar. Karenanya, semua remaja memerlukan dukungan dan perawatan
selama masa transisi dari remaja menuju dewasa.
Banyak
media massa, seperti internet,
televisi, koran atau majalah
yang menyampaikan informasi secara bebas kepada remaja. Sementara itu, walaupun
remaja telah mencapai kematangan kognitif,
namun dalam kenyataannya mereka belum mampu mengolah informasi yang
diterima tersebut secara benar. Untuk
itu, peran sekolah, orang tua, media massa maupun pemerintah adalah
memikirkan dan membuat program pendidikan seksual untuk remaja.
Pendidikan seks bukanlah sekedar penerangan tentang seks
(atau hubungan seks), melainkan sebagaimana pendidikan lainnya (pendidikan
agama, pendidikan pancasila) pendidikan seks juga mengandung nilai-nilai (baik
buruk, benar salah) yang harus ditransformasikan kepada subyek didik.
Nilai-nilai inilah (yang berorientasi pada agama, etika dan susila) yang akan
mencegah perilaku seks yang tidak bertanggung jawab (bukan malah mendorongnya).
Laporan statistik di AS (1989) misalnya menunjukkan bahwa di negara tersebut
telah terjadi penurunan angka kelahiran di luar nikah di kalangan remaja kulit
hitam sebanyak 20 % sejak tahun 1989. Hal ini disebabkan oleh karena para
remaja, orang tua dan guru sudah semakin terbuka membicarakan tentang seks,
sehingga dapat melakukan tindakan pencegahan yang diperlukan (Edwards, 1998).
Secara
umum, kita dapat mengatasi problem dunia remaja itu dengan beberapa langkah.
Pertama, mengembangkan potensi remaja dan mengarahkannya menjadi lebih optimal
melalui kegiatan dan pemantauan secara terus menerus. Kedua, mengajarkan
kedisiplinan, ketekunan, kemandirian, dan tanggungjawab dalam menjalankan
berbagai hal. Ketiga, menanamkan nilai-nilai akhlak al-karimah sejak dini,
serta memberikan keteladanan yang utuh dan mampu menginspirasi dan
memberdayakan mereka. Keempat, membangun komunikasi yang efektif antara
orangtua dan anak, sesama dilingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat, dan
kelima, mengenalkan pendidikan seks yang benar dan Islami kepada anak.
Dari
kelima hal di atas, mendidikan anak usia remaja memang membutuhkan sikap yang
elastis. Artinya, orangtua yang bijak tentu akan mengambil sikap yang
berimbang. Ada saatnya ia berperan layaknya sahabat tempat berbagi perasaan dan
gagasan. Ada kalanya ia berlaku sebagai guru yang memandu dan membimbing. Ada
saatnya menerapkan disiplin yang tegas. Ada kalanya ia memberi kebebasan yang
lapang kepada anak-anak remajanya. Hal ini tentu merupakan sebuah tugas yang
menuntut pemahaman yang memadahi dan hati yang tulus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar