AIDS bukanlah penyakit yang dapat diremehkan begitu saja. Sekali
seseorang terserang HIV, virus penyebab AIDS, maka daya tahan tubuhnya
akan menurun dan ia pun harus meminum obat-obatan yang diresepkan
padanya secara rutin. Masalah muncul ketika penderita HIV/AIDS tak
memperoleh akses makanan yang baik.
Sebuah studi dari San
Fransisco memastikan bahwa begitu pasien yang kekurangan asupan makanan
akan lebih cenderung masuk rumah sakit daripada penderita yang dapat
makan makanan sehat secara rutin.
Peneliti menduga hal ini
disebabkan penderita yang tak tahu apa yang akan mereka makan di hari
berikutnya tentu takkan mampu memprioritaskan pengobatan HIV-nya.
Kondisi yang disebut dengan rawan pangan (food insecurity) ini
juga dapat menggarisbawahi masalah lain yang seringkali dialami
penderita HIV seperti kemiskinan, gangguan mental dan kecanduan.
Untuk
studi ini, Dr. Sheri Weiser dari University of California, San
Fransisco dan rekan-rekannya secara rutin mewawancarai 347 penderita HIV
yang tak punya tempat tinggal, tinggal di penampungan ataupun
berpendapatan rendah dengan tempat tinggal yang tidak permanen.
Ketika
studi dimulai, seperempat partisipan telah keluar-masuk UGD dalam kurun
tiga bulan belakangan dan 11 persen diantaranya baru-baru ini harus
dirawat di rumah sakit. Selain itu, sepertiga partisipan dilaporkan
mengalami rawan pangan berat, bahkan lebih dari separuh partisipan
mengaku kesulitan memperoleh makanan secara rutin.
Setelah
melakukan studi selama dua tahun, peneliti menyimpulkan bahwa partisipan
yang sangat cemas atau bimbang dengan pasokan makanannya, termasuk
orang yang tak memiliki akses makanan bergizi sama sekali memiliki
kecenderungan untuk diopname di rumah sakit dua kali lebih besar
dibandingkan mereka yang tidak dilaporkan mengalami rawan pangan. 70
persen partisipan juga dilaporkan lebih sering masuk UGD.
"Rawan
pangan adalah masalah yang signifikan. Pasalnya ketika Anda mengidap
sebuah penyakit kronis, hal ini akan memperburuk keadaan penyakit Anda,"
ujar Seth Kalichman, seorang psikolog yang telah mempelajari kaitan
antara kepatuhan terhadap pengobatan HIV dan akses pangan dari
University of Connecticut, Storrs seperti dilansir dari Reuters, Rabu (13/9/2012).
Kalichman
yang tak terlibat dalam studi ini mengungkapkan bahwa kombinasi
kelaparan dengan HIV yang sama-sama menghambat sistem kekebalan manusia
nyatanya juga membuat banyak orang menjadi rentan terserang gangguan
kesehatan lainnya.
Menurut peneliti, kondisi ini bisa jadi
diakibatkan oleh pengendalian penyakit yang buruk dan semakin banyaknya
gejala-gejala gangguan kesehatan yang berkaitan dengan HIV.
"Upaya
untuk mendapatkan makanan setiap hari benar-benar dapat mempengaruhi
kepatuhan pasien terhadap ketentuan pengobatan secara signifikan. Dengan
kata lain perjuangan untuk memperoleh makanan telah menggantikan upaya
untuk mengingat kapan mereka harus minum obat," tutur Kalichman.
Untuk
itu pada laporan studi yang ditampilkan dalam Journal of General
Internal Medicine ini, peneliti menekankan perlunya upaya untuk mendanai
program-program penyediaan pasokan makanan bagi pasien yang tidak mampu
atau kondisi ekonominya menengah ke bawah.
"Akses makanan,
kelaparan dan gizi merupakan target kami untuk meningkatkan kesehatan
penderita HIV/AIDS. Tak bijak rasanya jika biaya pengobatan HIV
dinaikkan tapi tidak disertai dengan penyediaan nutrisi yang mencukupi
bagi pasien," tandas peneliti lain, Dr. David Bangsberg dari Harvard Medical School, Boston.
Sumber: detikHealth
Tidak ada komentar:
Posting Komentar