Selasa, 04 Februari 2014

Berita Tusuk Gigi ber-HIV yang Tak Redam Cemas

Kerja jurnalis memang mengolah fakta lalu menyajikan fakta tersebut dalam bentuk berita dengan beragam format penyajian tergantung pilihan.
Beredarnya SMS (short message service) atau layanan pesan singkat melalui telepon seluler berisi imbauan agar si penerima berhati-hati atas penularan HIV melalui tusuk gigi, kemudian isi SMS ini menjadi bahan perbincangan publik, adalah fakta yang bisa dijadikan berita. Adalah fakta juga ketika isi SMS ini menimbulkan kecemasan pada sebagian orang, sedangkan bagi yang lain merupakan sesuatu yang tak perlu dipercayai. Fakta ini sah-sah saja diberitakan.
Tapi bagaimana ketika fakta SMS berisi imbauan untuk berhati-hati atas penularan HIV melalui tusuk gigi tersebut dijadikan berita secara tidak tepat atau kurang lengkap? Apakah berita tersebut menambah cemas masyarakat sekaligus memperluas lingkup publik yang cemas (dari semula hanya penerima SMS menjadi ke sejumlah besar pembaca media) atau sebaliknya, meredam kecemasan bagi si penerima SMS dan membuat pembaca media (yang tak menerima SMS) bisa menangkal atau tak mempercayai isi rumor yang disebarluaskan melalui SMS?
September 2011 lalu, di Medan dan Surabaya beredar SMS berisi imbauan hati-hati atas penularan HIV melalu tusuk gigi (dan jarum suntik) yang sengaja diletakkan di tempat umum, seperti rumah makan dan bioskop. Sebagian orang menjadi cemas dengan isi SMS tersebut, sejumlah kalangan membantah sebagai penyebarluas SMS, sejumlah pihak menyatakan isi SMS tersebut hanya hoax, tak perlu dipercayai.
Melalui pemberitaan di portal berita Okezone.com (Selasa, 27 September 2011: Kadinkes Bantah Dokter Sumut Sebar HIV AIDS di-posting pukul 10:15, Masyarakat Diimbau Tak Percaya SMS Tusuk Gigi Aids di-posting 12.40, SMS Tusuk Gigi HIV/AIDS Juga Beredar di Surabaya di-posting 13:14) fakta yang terjadi di Medan dan Surabaya ini bisa diketahui publik di luar kedua kota besar tersebut. Artinya isi SMS tersebut, lengkap atau intinya, menyebarluas ke luar Medan dan Surabaya.
Berbeda dengan dua berita yang berasal dari Medan yang hanya menyebut inti isi SMS, pada berita dari Surabaya yang diposting siang di hari yang sama, Okezone.com mengutip lengkap isi SMS tersebut sebagai berikut:

Tlong disbarkn ya! Ada nfo yg ckp mngagetkn dr pr dokter & LSM yg mnangani mslh narkoba. Para penderita HIV/Aids yg mrs ptus asa & tdk ada kpedulian pmrintah trhdp mrka,mulai dendam. Mrka brniat mnyebarkn penyakit ini, modusx dgn melalui tusuk gigi yg baxk trdpt d’warung/restauran. Mrka memakai tusuk gigi trsbt hax u/ menusuk gusix smpai brdrah, lalu diusap hingga tdk kelihatn drahx, stlh itu disisipkn ke t4 semula. TLNG DISEBARKAN, JIKA ANDA SEBARKAN MAKA ANDA SUDAH SELAMATKAN BYK JIWA. Jgn pake tusuk gigi d’warung makan/restauran.Thanks. By BALAI LABOROTORIUM KESEHATAN SURABAYA”.
(Okezone.com, 27 September 2011, 13:14: SMS Tusuk Gigi HIV/AIDS Juga Beredar di Surabaya)

Persoalannya bukan pada boleh-tidaknya atau benar-tidaknya media memberitakan fakta beredarnya “SMS tusuk gigi ber HIV” tersebut. Namun, apakah beritanya ditulis secara benar dalam arti informatif atau justru malah tetap mempertebal rasa cemas di khalayak. Informatif, tentunya berarti bahwa sesuatu yang disampaikan tidak membingungkan atau menambah bingung khalayak.
Dalam pemberitaan persoalan HIV&AIDS salah satu tugas jurnalis atau media adalah memberikan informasi yang benar tentang HIV&AIDS. Pengetahuan dasar mengenai HIV&AIDS merupakan salah satu di antara beragam aspek tentang HIV&AIDS, yang di antaranya tentang cara penularan HIV. Masih penting dan relevannya menjadikan informasi tentang pengetahuan dasar HIV&AIDS sebagai berita mengingat pengetahuan dasar ini belum sepenuhnya diketahui masyarakat. Kalaupun masyarakat memiliki pengetahuan tentang itu, pengetahuan tersebut tidak lengkap. Bahkan, pengetahuan tersebut tidak benar atau menyesatkan karena didapat dari sumber-sumber yang tidak berkompeten.

Kekuranglengkapan Informasi
Ketiga berita yang di-posting Okezon dari sisi penyampaian fakta tampaknya tak ada yang bermasalah. Ketiganya menyampaikan fakta apa adanya bahwa di Medan dan Surabaya beredar SMS atau pesan pendek seperti disebut di atas. Contohnya pada berita berjudul Masyarakat Diimbau Tak Percaya SMS Tusuk Gigi Aids (di-posting pukul 12.40). Lead berita tersebut pun ditulis datar-datar saja dan tidak bombastis maupun sensasional: Pesan singkat berisi imbauan hati-hati atas penularan HIV AIDS melalui tusuk gigi dan jarum suntik yang sengaja diletakkan di tempat umum, seperti rumah makan dan bioskop, beredar di Medan.
Nada penulisan serupa juga terlihat pada berita yang di-posting pukul 10.15 yang sama-sama memberitakan fakta di Medan (Kadinkes Bantah Dokter Sumut Sebar HIV AIDS). Berita ini ditulis dengan lead demikian: Belakangan ini, banyak pesan singkat beredar ke tengah masyarakat yang mengimbau agar waspada terhadap penularan virus HIV/AIDS yang sengaja ditularkan melalui tusuk gigi.
Ketiga berita tersebut “bermasalah” karena kekuranglengkapannya dalam informasi. Tidak satu pun yang menginformasikan secara lengkap dan jelas tentang cara penularan HIV (virus yang menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh seseorang).
Alih-alih melengkapi berita dengan informasi lengkap dan jelas mengenai cara penularan HIV, ketiga berita justru lebih mengemukakan bantahan dari pihak yang namanya “dicatut” dalam SMS tusuk gigi ber-HIV, di antaranya Ketua Ikatan Dokter Indonesia Sumatera, Kepala Dinas Kesehatan Pemko Medan dan petugas lapangan LSM.
Memang, dari mereka dikutip keterangan yang diharapkan bisa menghilangkan kecemasan masyarakat bahkan dimunculkan imbauan agar masyarakat tidak mempercayai isi SMS tersebut (dalam berita Masyarakat Diimbau Tak Percaya SMS Tusuk Gigi Aids). Perhatian kutipan 1 dan 2 berikut. Kutipan 1: “Menanggapi adanya isu tersebut, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Sumatera Utara….meminta masyarakat untuk sepenuhnya tidak percaya atas isu yang dikembangkan melalui pesan singkat itu (alinea 3). Kutipan 2: “Menanggapi hal itu, Kadis Kesehatan Pemko Medan, menyatakan penularn virus HIV AIDS melalui tusuk gigi sangat tidak mungkin (alinea 3, berita Kadinkes Bantah Dokter Sumut Sebar HIV AIDS).
Imbauan agar masyarakat tak cemas juga disampaikan Kepala Dinas Kesehatan. Namun, argumentasi yang disampaikan jauh dari persoalan penularan HIV itu sendiri, melainkan melebar ke soal bagaimana SMS itu muncul, seperti pada alinea 6: “Bisa jadi isi pesan singkat itu permainan provider atau pelaku kejahatan jaringan.”
Menginformasikan bantahan dari pihak-pihak yang disebutkan dalam SMS tentu saja baik sebagai klarifikasi. Akan tetapi, ketika substansi persoalannya tak diinformasikan secara lengkap dan jelas, maka publik tetap tidak bisa diyakinkan atas ketidakbenaran isi SMS. Meskipun pejabat sudah mengimbau agar masyarakat tak mempercayai rumor tersebut. Artinya, publik tetap masih dihinggapi kecemasan. “Percaya, enggak percaya. Sekarang jadi ragu kalau menggunakan tusuk gigi,” kata Rahman, warga Surabaya (alinea 4 berita SMS Tusuk Gigi HIV/AIDS Juga Beredar di Surabaya).

Kurang eksplorasi
Mencermati tiga berita di atas, ada kesan bahwa wartawan kurang mengeksplorasi keterangan narasumber ketika narasumber menegaskan bahwa tusuk gigi tak mungkin menjadi medium penularan HIV.
Semestinya, jika wartawan penulis berita tersebut kritis dan mempunyai rasa ingin tahu yang lebih, maka (seharusnya) ia bertanya lebih jauh kepada narasumber tentang 1. Mengapa masyarakat tak perlu percaya bahwa tusuk gigi bisa menjadi medium penularan HIV? 2. Bagaimana sebenarnya cara penularan HIV? 3. Apa syarat-syarat HIV bisa menular? 4. Perilaku dan medium, apa saja yang tidak bisa menularkan HIV?
Sesungguhnya, tanpa harus menggunakan keterangan dari narasumber pun wartawan bisa menggunakan informasi tentang penularan HIV dari banyak sumber yang bisa diakses di internet, tentu saja pemilihan sumber ini harus tepat.
Jawaban-jawaban tersebut sangat penting bagi publik, bukan saja bermanfaat sebagai pengetahuan dasar tentang HIV, namun publik mendapatkan argumentasi logis untuk mempercayai atau tidak mempercayai rumor sebagaimana disebarluaskan melalui SMS.
Dengan menginformasikan pengetahuan yang benar dan lengkap mengenai penularan HIV, tak perlu lagi para pihak atau narasumber kerepotan mengimbau masyarakat untuk tidak mempercayai rumor yang beredar. Bagaimana jika imbauan tersebut tidak dipatuhi? Bukan karena masyarakat tak percaya kepada pejabat bersangkutan, namun karena imbauan tersebut tak dilengkapi argumentasi yang informatif dan masuk akal. Wartawan pun tak perlu lagi harus repot “memaksakan” memuat atau memberitakan imbauan pejabat pemerintah agar masyarakat tak mempercayai rumor.
Untuk menghindari terjadinya pemberitaan seperti di atas, memang tak ada pilihan bagi para jurnalis kecuali; 1. Membekali diri dengan pengetahuan yang memadai tentang persoalan yang akan ditulisnya; 2. Selalu bersikap kritis terhadap fakta, termasuk keterangan narasumber; 3. Tak segan mengeksplorasi jawaban; 4. Terus mengasah keingintahuan, dan 5. Meningkatkan kemampuan penalaran atau logika.
Tentu saja, mengedepankan sisi informatif ketimbang sensasi dari suatu fakta akan jauh lebih penting. Terlebih lagi ketika mengangkat fakta tentang HIV&AIDS yang belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat.
Bagi publik, ketika menghadapi fakta seperti beredarnya SMS berisi rumor tusuk gigi ber-HIV yang terutama dan sangat diharapkan dari media adalah informasi yang bisa meredam kecemasan mereka, dengan argumen yang masuk akal, bukan para pihak yang menyampaikan bantahan.



·    (penulis: dedi h purwadi) sumber: http://www.beritaaids.com/soft-news/berita-tusuk-gigi-ber-hiv-yang-tak-redam-cemas.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger