Kerja jurnalis memang mengolah fakta
lalu menyajikan fakta tersebut dalam bentuk berita dengan beragam format
penyajian tergantung pilihan.
Beredarnya SMS (short message service)
atau layanan pesan singkat melalui telepon seluler berisi imbauan agar si
penerima berhati-hati atas penularan HIV melalui tusuk gigi, kemudian isi SMS
ini menjadi bahan perbincangan publik, adalah fakta yang bisa dijadikan berita.
Adalah fakta juga ketika isi SMS ini menimbulkan kecemasan pada sebagian orang,
sedangkan bagi yang lain merupakan sesuatu yang tak perlu dipercayai. Fakta ini
sah-sah saja diberitakan.
Tapi bagaimana ketika fakta SMS berisi imbauan untuk berhati-hati atas
penularan HIV melalui tusuk gigi tersebut dijadikan berita secara tidak tepat
atau kurang lengkap? Apakah berita tersebut menambah cemas masyarakat sekaligus
memperluas lingkup publik yang cemas (dari semula hanya penerima SMS menjadi ke
sejumlah besar pembaca media) atau sebaliknya, meredam kecemasan bagi si
penerima SMS dan membuat pembaca media (yang tak menerima SMS) bisa menangkal
atau tak mempercayai isi rumor yang disebarluaskan melalui SMS?
September 2011 lalu, di Medan dan Surabaya beredar SMS berisi imbauan hati-hati
atas penularan HIV melalu tusuk gigi (dan jarum suntik) yang sengaja diletakkan
di tempat umum, seperti rumah makan dan bioskop. Sebagian orang menjadi cemas
dengan isi SMS tersebut, sejumlah kalangan membantah sebagai penyebarluas SMS,
sejumlah pihak menyatakan isi SMS tersebut hanya hoax, tak perlu dipercayai.
Melalui pemberitaan di portal berita Okezone.com (Selasa, 27 September 2011:
Kadinkes Bantah Dokter Sumut Sebar HIV AIDS di-posting pukul 10:15, Masyarakat
Diimbau Tak Percaya SMS Tusuk Gigi Aids di-posting 12.40, SMS Tusuk Gigi
HIV/AIDS Juga Beredar di Surabaya di-posting 13:14) fakta yang terjadi di Medan
dan Surabaya ini bisa diketahui publik di luar kedua kota besar tersebut.
Artinya isi SMS tersebut, lengkap atau intinya, menyebarluas ke luar Medan dan
Surabaya.
Berbeda dengan dua berita yang berasal dari Medan yang hanya menyebut inti isi
SMS, pada berita dari Surabaya yang diposting siang di hari yang sama,
Okezone.com mengutip lengkap isi SMS tersebut sebagai berikut:
Tlong disbarkn ya! Ada nfo yg ckp
mngagetkn dr pr dokter & LSM yg mnangani mslh narkoba. Para penderita
HIV/Aids yg mrs ptus asa & tdk ada kpedulian pmrintah trhdp mrka,mulai
dendam. Mrka brniat mnyebarkn penyakit ini, modusx dgn melalui tusuk gigi yg
baxk trdpt d’warung/restauran. Mrka memakai tusuk gigi trsbt hax u/ menusuk
gusix smpai brdrah, lalu diusap hingga tdk kelihatn drahx, stlh itu disisipkn
ke t4 semula. TLNG DISEBARKAN, JIKA ANDA SEBARKAN MAKA ANDA SUDAH SELAMATKAN
BYK JIWA. Jgn pake tusuk gigi d’warung makan/restauran.Thanks. By BALAI
LABOROTORIUM KESEHATAN SURABAYA”.
(Okezone.com, 27 September 2011, 13:14: SMS Tusuk Gigi HIV/AIDS Juga Beredar di
Surabaya)
Persoalannya bukan pada boleh-tidaknya
atau benar-tidaknya media memberitakan fakta beredarnya “SMS tusuk gigi ber
HIV” tersebut. Namun, apakah beritanya ditulis secara benar dalam arti
informatif atau justru malah tetap mempertebal rasa cemas di khalayak.
Informatif, tentunya berarti bahwa sesuatu yang disampaikan tidak membingungkan
atau menambah bingung khalayak.
Dalam pemberitaan persoalan HIV&AIDS salah satu tugas jurnalis atau media
adalah memberikan informasi yang benar tentang HIV&AIDS. Pengetahuan dasar
mengenai HIV&AIDS merupakan salah satu di antara beragam aspek tentang
HIV&AIDS, yang di antaranya tentang cara penularan HIV. Masih penting dan
relevannya menjadikan informasi tentang pengetahuan dasar HIV&AIDS sebagai
berita mengingat pengetahuan dasar ini belum sepenuhnya diketahui masyarakat.
Kalaupun masyarakat memiliki pengetahuan tentang itu, pengetahuan tersebut
tidak lengkap. Bahkan, pengetahuan tersebut tidak benar atau menyesatkan karena
didapat dari sumber-sumber yang tidak berkompeten.
Kekuranglengkapan Informasi
Ketiga berita yang di-posting Okezon dari sisi penyampaian fakta tampaknya tak
ada yang bermasalah. Ketiganya menyampaikan fakta apa adanya bahwa di Medan dan
Surabaya beredar SMS atau pesan pendek seperti disebut di atas. Contohnya pada
berita berjudul Masyarakat Diimbau Tak Percaya SMS Tusuk Gigi Aids (di-posting
pukul 12.40). Lead berita tersebut pun ditulis datar-datar saja dan tidak
bombastis maupun sensasional: Pesan singkat berisi imbauan hati-hati atas
penularan HIV AIDS melalui tusuk gigi dan jarum suntik yang sengaja diletakkan
di tempat umum, seperti rumah makan dan bioskop, beredar di Medan.
Nada penulisan serupa juga terlihat pada berita yang di-posting pukul 10.15
yang sama-sama memberitakan fakta di Medan (Kadinkes Bantah Dokter Sumut Sebar
HIV AIDS). Berita ini ditulis dengan lead demikian: Belakangan ini, banyak
pesan singkat beredar ke tengah masyarakat yang mengimbau agar waspada terhadap
penularan virus HIV/AIDS yang sengaja ditularkan melalui tusuk gigi.
Ketiga berita tersebut “bermasalah” karena kekuranglengkapannya dalam
informasi. Tidak satu pun yang menginformasikan secara lengkap dan jelas
tentang cara penularan HIV (virus yang menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh
seseorang).
Alih-alih melengkapi berita dengan informasi lengkap dan jelas mengenai cara
penularan HIV, ketiga berita justru lebih mengemukakan bantahan dari pihak yang
namanya “dicatut” dalam SMS tusuk gigi ber-HIV, di antaranya Ketua Ikatan
Dokter Indonesia Sumatera, Kepala Dinas Kesehatan Pemko Medan dan petugas lapangan
LSM.
Memang, dari mereka dikutip keterangan yang diharapkan bisa menghilangkan
kecemasan masyarakat bahkan dimunculkan imbauan agar masyarakat tidak
mempercayai isi SMS tersebut (dalam berita Masyarakat Diimbau Tak Percaya SMS
Tusuk Gigi Aids). Perhatian kutipan 1 dan 2 berikut. Kutipan 1: “Menanggapi
adanya isu tersebut, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Sumatera
Utara….meminta masyarakat untuk sepenuhnya tidak percaya atas isu yang
dikembangkan melalui pesan singkat itu (alinea 3). Kutipan 2: “Menanggapi hal
itu, Kadis Kesehatan Pemko Medan, menyatakan penularn virus HIV AIDS melalui
tusuk gigi sangat tidak mungkin (alinea 3, berita Kadinkes Bantah Dokter Sumut
Sebar HIV AIDS).
Imbauan agar masyarakat tak cemas juga disampaikan Kepala Dinas Kesehatan.
Namun, argumentasi yang disampaikan jauh dari persoalan penularan HIV itu
sendiri, melainkan melebar ke soal bagaimana SMS itu muncul, seperti pada
alinea 6: “Bisa jadi isi pesan singkat itu permainan provider atau pelaku
kejahatan jaringan.”
Menginformasikan bantahan dari pihak-pihak yang disebutkan dalam SMS tentu saja
baik sebagai klarifikasi. Akan tetapi, ketika substansi persoalannya tak
diinformasikan secara lengkap dan jelas, maka publik tetap tidak bisa
diyakinkan atas ketidakbenaran isi SMS. Meskipun pejabat sudah mengimbau agar
masyarakat tak mempercayai rumor tersebut. Artinya, publik tetap masih
dihinggapi kecemasan. “Percaya, enggak percaya. Sekarang jadi ragu kalau
menggunakan tusuk gigi,” kata Rahman, warga Surabaya (alinea 4 berita SMS Tusuk
Gigi HIV/AIDS Juga Beredar di Surabaya).
Kurang eksplorasi
Mencermati tiga berita di atas, ada kesan bahwa wartawan kurang mengeksplorasi
keterangan narasumber ketika narasumber menegaskan bahwa tusuk gigi tak mungkin
menjadi medium penularan HIV.
Semestinya, jika wartawan penulis berita tersebut kritis dan mempunyai rasa
ingin tahu yang lebih, maka (seharusnya) ia bertanya lebih jauh kepada
narasumber tentang 1. Mengapa masyarakat tak perlu percaya bahwa tusuk gigi
bisa menjadi medium penularan HIV? 2. Bagaimana sebenarnya cara penularan HIV?
3. Apa syarat-syarat HIV bisa menular? 4. Perilaku dan medium, apa saja yang
tidak bisa menularkan HIV?
Sesungguhnya, tanpa harus menggunakan keterangan dari narasumber pun wartawan
bisa menggunakan informasi tentang penularan HIV dari banyak sumber yang bisa
diakses di internet, tentu saja pemilihan sumber ini harus tepat.
Jawaban-jawaban tersebut sangat penting bagi publik, bukan saja bermanfaat
sebagai pengetahuan dasar tentang HIV, namun publik mendapatkan argumentasi
logis untuk mempercayai atau tidak mempercayai rumor sebagaimana disebarluaskan
melalui SMS.
Dengan menginformasikan pengetahuan yang benar dan lengkap mengenai penularan
HIV, tak perlu lagi para pihak atau narasumber kerepotan mengimbau masyarakat
untuk tidak mempercayai rumor yang beredar. Bagaimana jika imbauan tersebut
tidak dipatuhi? Bukan karena masyarakat tak percaya kepada pejabat
bersangkutan, namun karena imbauan tersebut tak dilengkapi argumentasi yang
informatif dan masuk akal. Wartawan pun tak perlu lagi harus repot “memaksakan”
memuat atau memberitakan imbauan pejabat pemerintah agar masyarakat tak
mempercayai rumor.
Untuk menghindari terjadinya pemberitaan seperti di atas, memang tak ada
pilihan bagi para jurnalis kecuali; 1. Membekali diri dengan pengetahuan yang
memadai tentang persoalan yang akan ditulisnya; 2. Selalu bersikap kritis
terhadap fakta, termasuk keterangan narasumber; 3. Tak segan mengeksplorasi
jawaban; 4. Terus mengasah keingintahuan, dan 5. Meningkatkan kemampuan
penalaran atau logika.
Tentu saja, mengedepankan sisi informatif ketimbang sensasi dari suatu fakta
akan jauh lebih penting. Terlebih lagi ketika mengangkat fakta tentang
HIV&AIDS yang belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat.
Bagi publik, ketika menghadapi fakta seperti beredarnya SMS berisi rumor tusuk
gigi ber-HIV yang terutama dan sangat diharapkan dari media adalah informasi
yang bisa meredam kecemasan mereka, dengan argumen yang masuk akal, bukan para
pihak yang menyampaikan bantahan.
· (penulis: dedi h purwadi) sumber:
http://www.beritaaids.com/soft-news/berita-tusuk-gigi-ber-hiv-yang-tak-redam-cemas.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar