JAKARTA, bkkbn online
Merokok merupakan penyebab tunggal kematian utama yang dapat dicegah. Namun,
konsumsi rokok masih sulit dikurangi karena sudah menjadi hal yang umum karena
harganya yang relatif terjangkau, pemasaran yang tersebar luas dan agresif,
kurangnya pengetahuan akan bahaya yang ditimbulkan, serta inkonsistensi
kebijakan publik terhadap pengendalian bahaya merokok terhadap kesehatan.
“Kematian prematur karena merokok biasanya terjadi rata-rata 15 tahun sebelum
umur harapan hidup tercapai. Tahun 2010 diperkirakan terdapat 6 juta orang di
dunia meninggal, termasuk 196.260 orang di Indonesia yang meninggal akibat
penyakit terkait merokok,” kata Direktur Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Kemenkes, Prof Dr Tjandra Yoga Aditama di Jakarta, Senin (3/3).
Umumnya penyakit yang terkait dengan merokok memerlukan waktu bertahun-tahun
untuk timbul setelah perilaku merokok dimulai, sehingga epidemi penyakit
terkait merokok dan jumlah kematian di masa mendatang akan terus
meningkat.
Selain berdampak buruk bagi kesehatan perokok itu sendiri, asap rokok orang
lain (AROL) juga berbahaya bagi kesehatan orang di sekitarnya yang menjadi
perokok pasif. AROL adalah gabungan antara asap yang dikeluarkan oleh
ujung rokok yang membara dan produk tembakau lainnya serta asap yang dihisap
oleh perokok.
AROL merupakan penyebab 600.000 kematian dini setahun. Pada asap rokok terdapat
4000 zat kimia, diantaranya 250 beracun dan 60 bersifat karsinogenik. Tidak ada
batas aman untuk AROL. Perokok pasif perempuan di Indonesia 62 juta dan
laki-laki 30 juta. Anak usia 0- 4 tahun yang terpapar AROL sebesar 11,4 juta
anak.
Sedangkan perokok pasif mempunyai risiko terkena penyakit kanker 30
persen lebih besar dibandingkan dengan yang tidak terpapar asap rokok, juga
terkena penyakit jantung iskemik yang disebabkan oleh asap rokok. “Tetapi, usia
produktif itu harus sehat dan berkualitas. Pada kenyataannya, anak-anak,
generasi muda bangsa dewasa ini adalah yang paling dirugikan dari bahaya akibat
merokok,” ujarnya.
Menyoal kualitas kesehatan yang menurun akibat rokok tersebut, Tjandra Yoga
mengingatkan bahwa Indonesia mulai memasuki masa bonus demografi
puncaknya pada 2028 - 2030. Pada puncak bonus demografi itu, akan terjadi
angka ketergantungan yang paling rendah yaitu 46,9. Artinya, setiap 100
penduduk usia produktif (15-64 tahun) menanggung beban sebanyak 46,9 (atau
dibulatkan menjadi 47) penduduk usia non produktif yaitu penduduk usia di bawah
15 tahun dan di atas 65 tahun.
Besarnya angka usia produktif dibandingkan non produktif itu sekitar dua
banding satu. Kondisi ini merupakan modal besar pembangunan. Negara Cina
misalnya, telah memanfaatkan saat bonus demografi mereka pada peningkatan
pertumbuhan ekonominya. “Bagaimana dengan Indonesia, kalau generasi
mudanya, kesehatannya buruk akibat merokok,” kata Tjandra.
Namun, bonus demografi tidak otomatis dapat meningkatkan produktivitas nasional
yang dapat mendorong kesejahteraan rakyat. Untuk mengoptimalkan bonus
demografi sebagai peluang kesejahteraan rakyat, ada beberapa hal yang perlu
dipenuhi, yaitu kualitas kesehatan masyarakat, peningkatan kualitas pendidikan
dan pengembangan keterampilan, pengendalian laju pertumbuhan penduduk, dan
dukungan kebijakan ekonomi.
Tjandra mengatakan, Kementerian Kesehatan telah melakukan berbagai upaya
penanggulangan masalah merokok, antara lain melakukan sosialisasi kepada
masyarakat umum termasuk melalui berbagai media elektronik, edukasi kepada
kelompok-kelompok tertentu seperti LSM/asosiasi petani tembakau maupun advokasi
kepada DPR-DPRD dan Pemda Provinsi/Kabupaten/Kota untuk mendukung penerapan PP
109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif.
Pihaknya juga melakukan koordinasi dengan lintas Kementerian terkait antara
lain dengan Kementerian Keuangan dalam pemanfaatan dana bagi hasil cukai hasil
tembakau dan pajak rokok bagi kesehatan; dengan Kementerian Dalam Negeri dalam
mewujudkan dan mengawasi pelaksanaan KTR; Kementerian komunikasi dan Informasi
dalam Pengendalian Iklan Rokok, Kementerian Pemuda dan Olahraga dalam
mengantisipasi interference dari industri rokok.(kkb2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar